Umar dan Sembilan Butir Peluru yang Selalu Dibawanya

Tahun 2019, saya menggantikan Faisal Hadi sebagai interpreter untuk seorang periset bernama Amoz J. Hor. Bersama Hendra Saputra, kami berkunjung ke beberapa tempat sepanjang pantai timur Aceh.

Perjalanan tersebut berlangsung selama hampir dua minggu. Dari banyak narasumber yang kami temui, salah satunya Umar. Ia adalah mantan ajudan Teungku Ishak Daud—Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Peureulak.

Di awal, Umar terkesan defensif, tampak tak suka dengan kedatangan kami, terutama ketika hendak diwawancara. Wajahnya datar tanpa emosi, sulit meraba apa yang ia pikirkan saat itu.

Usaha saya untuk beramah-tamah terasa sia-sia belaka karena Umar terlihat amat ketus. Hati kecil saya bergumam, kalau tidak berkenan diwawancara kenapa menerima sejak awal? Orang ini terkesan plintat-plintut.

Saya mengalami jalan buntu dalam mencari jalan keluar untuk memecah kebekuan di meja. Amoz tampaknya bisa merasakan itu. "Nana tidak usah terlalu berusaha. Tidak apa-apa, kita minum kopi saja," ujarnya.

Saya tidak menyerah. Saya pun menarik semua risiko yang akan terjadi ke dalam satu pertanyaan “bagaimana cara Bang Umar melewati masa muda abang?”

Mendengar pertanyaan tersebut, sontak kening Umar mengernyit, alisnya tampak saling bertaut, disambung tertawa sangat keras.

"Pane awakkah, Nong? Batat that lagoe," (Kamu berasal darimana? Kenapa bandel sekali)," tanya Umar. Ia pasti kesal. Tepat sekali. Umar dapat merasakan bahwa saya tidak akan menyerah.

"Lon ureueng Pasee!" saya jawab mantap sambil tersenyum. Mendengar jawaban tersebut, Umar mengangguk kecil disertai kata, "Ooo," yang amat panjang, seakan mulai mengerti dengan situasi yang sedang dihadapi olehnya.

“Masa muda?" ia ragu, "saya tak pernah merasakannya."

Rasanya situasi telah cair. Obrolan kami pun menjadi amat panjang setelah itu. Tentu saja isinya confidential. Di sini, saya hanya akan menceritakan sekeping dari kisah Umar, orang yang amat fanatik terhadap Ishak Daud.

✪✪✪

Seluruh tubuhnya seperti disayat-sayat saat Umar terbangun setelah koma tiga hari lamanya di rumah sakit. Tak satu pun orang yang menyangka bahwa ia akan hidup dan selamat. Bahkan dokter sekalipun. Umar terbaring dengan rasa nyeri akibat peluru yang masih menyarang di tubuhnya. Ia tampak rangup.

Peluru bersarang di dekat sarafnya. Dokter menyerah. Waktu itu, Umar mengaku menyiram lukanya secara rutin dengan air daun ganja yang telah diblender. Saat kami jumpai, ia terlihat baik-baik saja. Namun, sedikit yang tahu bahwa tubuhnya itu tengah menampung serpihan mortir serta sembilan peluru.

Material dari masa perang itu tersebar di badan, punggung dan ujung jarinya. Menjadi "prasasti" dari perang terakhir bersama Ishak Daud di tepi sungai di Alue Nireh 18 tahun silam. Sebagaimana benda-benda yang kini bersarang di tubuhnya, kenangan Umar akan sosok Ishak Daud juga kekal.

✪✪✪

“Tinggi. Ketampanannya jelas tidak dapat dikalahkan. Kami sering sekali memakai pakaian yang sama," tutur Umar. Ia berbicara sembari berusaha menemukan sesuatu dari telepon pintar miliknya. Sesaat kemudian, ia menunjukkan sebuah foto berisi gambar Ishak Daud bersama sejumlah orang.

“Tebaklah saya yang mana?” tanya Umar.

Tentu saja sulit, Umar yang hari ini saya temui amat sangat berbeda dengan Umar yang masih berumur 17 tahun. Saya mencoba melihat foto tersebut baik-baik, lalu menunjuk manasuka. Dan tentu saja tebakan saya meleset.

                                                Pict from Google


"Nyoe hai (yang ini loh)," Umar menunjuk sesosok pemuda yang berdiri di dekat Sang Panglima.

✪✪✪

Umar mengaku kabur dari rumah sejak sekolah dasar untuk bergabung dengan GAM. Ia sempat bergabung ke dalam pasukan Abu Syik (panggilan untuk Ishak Daud) bahkan, kata dia, dipilih menjadi salah satu orang kepercayaannya.

Ia begitu semringah sewaktu bercerita tentang peristiwa pengepungan belasan jam di kota Idi. Perang yang dilaluinya adalah perang yang tak mengenal rasa takut. Dengan bangga ia mengatakan tak pernah terserempet peluru secuil pun, kecuali dalam perang terakhir yang dijalaninya bersama Ishak Daud.

Pada hari nahas itu, Umar bersama rombongan Ishak Daud terpisah dengan kelompok yang jauh lebih besar. Umar berdiri tak jauh dari tepi sungai, memantau situasi sebab istri Ishak Daud hendak berwudu.

Perasaan Umar sebenarnya sedari tadi telah memberi sinyal yang kurang menyenangkan. Ia yakin bahwa Umi, panggilan untuk istri Ishak Daud, yang saat itu belum lama pulang dari luar daerah sedang diikuti oleh mata-mata. Namun, tim lain merasa yakin bahwa situasi aman.

Kekhawatiran Umar benar-benar terjadi. Sekonyong-konyong terdengar suara gemerisik disertai peluru yang melejit secepat kilat dari arah yang tidak diketahui.

Ishak Daud pun roboh. Dadanya bersimbah darah. Hati Umar remuk seketika. Dalam situasi yang serba bahaya itu, ia berusaha sekuat tenaga untuk melepas pakaian panglima agar tubuhnya tidak dikenali oleh tentara.

Ketika hendak menyusul Umi yang juga tertembak, Umar mengaku terjerembap jatuh dan terguling-guling ke bawah. Dalam keadaan penuh luka, Umar selamat karena tubuhnya tertutupi sarang hewan. Ia hanya pingsan saat itu.

Perang telah usai belasan tahun silam. Namun, Umar tak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan. Pun keinginan merdeka sebagaimana tekadnya saat belia. Ia juga tak berselera untuk mengumpat Pemerintah Aceh yang beberapa periode diisi oleh eks kombatan yang juga banyak mengecewakan hatinya.

Dalam perang yang panjang itu, orang-orang kehilangan banyak hal. Umar pun demikian. Selain masa muda, ia juga kehilangan orang yang paling dicintai. Abu Syik bukan sekadar seorang panglima, tetapi juga sosok ayah baginya.

Ingatan tentang Abu Syik yang tak pernah lekang tak jarang kembali menimbulkan rasa nyeri seperti dihujam peluru. Seperti rasa sakit di tubuhnya yang sering kumat, hatinya juga kerap berdarah tiap kali mengingat sosok Ishak Daud.

Pun untuk Umar, hanya Ishak Daud orang paling tulus. Suatu hari, Panglima GAM Wilayah Peureulak itu berdoa agar Tuhan berkenan mencabut nyawanya andai Aceh tidak jadi merdeka. Kata Umar, Allah telah mengabulkan permintaannya.[]



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Bagi Jomblo Menghadapi Weekend

Suzuya Mall Banda Aceh Terbakar

Jogja, Istimewa (Sebuah Catatan Perjalanan)