Mamak dan Kebahagiaan yang ditebus

Barangkali sejak SMA, saya mengenali sebuar terma: "Membeli Kebahagiaan". Banyak orang pasti gak akan setuju karena katanya uang gak bisa membeli kebahagiaan. Tapi bagi saya yang saat itu tumbuh remaja dengan kekerasan dalam rumah tangga yang terus disaksikan didepan mata. Mana sempat saya telaah kalimat bijak kebahagiaan hakiki adalah bla...bla...bla...

Saya tahu dari pengalaman, cerita kekerasan hanya jadi sumber gosip tetangga dan keluarga besar. Saya tahu betul, laki-laki dalam keluarga dan masyarakat patriarki gak pernah salah dan pengalaman mengajarkan bahwa gak ada yang nolong saya selain diri saya sendiri. Saya tahu, orang yang mendengar kesulitan kami hanya bilang "kasihan" lalu diam dan berlalu.

Kekerasan, kemiskinan, penelantaran dan menjadi tong sampah emosi orang tua. Lalu, suatu waktu diujung frustasi saya lari dari rumah. Merasa hidup kok jahat ke saya,

Saya ga kenal perceraian karena gak pernah dengar dalam keluarga besar kami (saat itu). Dan kebersamaan yang menyakitkan itu terus berjalan. Sehingga saya yang masih SMA saat itu terpaksa berusaha cari solusi agar rumah tangga gak bubar! Saya kumpulkan uang untuk mencetak foto foto kebersamaan Ayah dan MAmak dengan kepercayaan mereka akan lihat foto yang terpajang di dinding lalu berfikir betapa mahalnya sebuah hubungan (baca: perkawinan). Tapi, sayangnya itu gak terjadi dan gak ada mekanisme monev dalam pernikahan. Mau gak mau hubungan yang menyakitkan terus berlanjut, dalam keputus asaan saya bilang ke mamak dan ayah secara terpisah "udah, cerai aja".

Bertahun-tahun kemudian, itu terwujud - sebuah perceraian yang (sampai hari ini) saya syukuri.

Disaat yang bersmaan saya menjadi faham, kekerasan fisik - mental yang saya alami adalah bentuk pelampiasan rasa sakit yang mamak lalui. Gak adil buat saya memang, lalu saya mau bilang apa? Sudah berjalan belasan tahun. Agar tak begitu membenci pengalaman buruk itu saya kompensasikan kedalam kalimat penghibur "Jika ada yang paling sakit, mamak lah orangnya."

berbekal kesadaran itu, saya mulai membuat budaya baru. Peluk cium yang awalnya dulu yang rasanya tabu saya lakukan. Ulang tahun yang (dulu) seperti haram - kini halal saja kami meniup lilin dan bersuka cita makan kue dan memberi kado (meski kecil atau cuma doa). Saya mulai menabung untuk membeli hal-hal yang bisa membuat mamak senang. Iya, jika ada kebahagiaan-kebahaagian yang bisa saya beli maka saya akan tebus dengan tunai.  


Hari ini, 6 Juni 2023
Mamak berulang tahun ke 57
Kami bersepakat menahan kantuk demi bervideo call ria (karena posisi berjauhan) menyanyikan lagu panjang umur serta mulia. Mamak sempat menanyakan Rino (suami), saya memang sengaja gak membangunkan suami karena besok pagi buta ia (berencana) berangkat ke Pidie. Sementara adik kami yang paling kecil yang inggal dirumah dengan mamak membawa kue dan membangunkan mamak. Doa-doa mulia kami ucapkan agar semesta ikut doakan: Semoga Allah selalu memberikan kasih sayang dan perlindungan kepada perempuan yang paling banyak berkorban dalam hidup saya, penguat langkah dan kecintaan kami semua.

Disela-sela itu, mamak bercanda "Ayah baru?"
Saya jawab, "Boleh, cari terus satu yang baik untuk kawan hidup"

Barakallah fiil umuri Mak!



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Bagi Jomblo Menghadapi Weekend

Suzuya Mall Banda Aceh Terbakar

Jogja, Istimewa (Sebuah Catatan Perjalanan)