Langsung ke konten utama

Mari bertahan sekuat-kuatnya!

[Foto diambil di KRL saat dijakarta pada tahun 2018 lalu]

Antara percaya dan tidak percaya kadang saya pada virus Corona. Meski memakai masker kemanapun pergi, tergantung selalu di tas Hand Sanitizer dan rajin mencuci tangan (bukan dari masalah). Melihat betapa 'ligat' nya pemerintah merespon wabah yang semakin waktu semakin mengkhawatirkan ini. Saya jadi yakin sekali cinta pemerintah kepada kita, seperti penjual kepada pembeli, musti ada untungnya. Bahkan setelah didiskon besar-besaran.

Duka satu per satu terdengar di telinga. Ada yang kehilangan penciuman, yang harus isolasi mandiri, yang rumahnya kebanjiran karena hujan datang tak henti dan berita orang-orang yang meninggal. Mengaku beriman lalu kita bilang, "udah musibah", "janjinya dengan yang Maha Kuasa sudah tiba. penyakit hanyalah sebab saja." 

Bagi kita orang kecil, dihari-hari berat dan semakin tak dapat dimengerti seperti belakangan. Doa dan ayat-ayat Tuhan saja yang menjadi pegangan untuk tetap bertahan dalam iman. Sementara semua jadi makin terjepit, Yang berdagang tak boleh melewati batas jam yang diberlakukan, hanya aturan tanpa solusi lain. padahal keluarga butuh makan. Pemberlakuan PPKM,  membuatnya semakin berat termasuk terlarang pulang ke kampung halaman tanpa tahu apa yang bisa terjadi disituasi tak menentu begini. Biasanya saya akan menangis keras-keras untuk menetralisir kecemasan. 

Untuk itu, saya punya satu doa ketenangan yang amat saya sukai dari Reinhold Niebuhr:

Ya Tuhan, anugerahkanlah kepadaku kedamaian
untuk menerima hal-hal yang tidak dapat aku ubah;
keberanian untuk mengubah hal-hal yang dapat kuubah;
dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaannya.

Tentu saja tidak mudah, menerima faktor eksternal diluar kuasa kita mengganggu ketenangan hidup. Selain mengulang Serenity Prayer diatas keresahan saya cukup berkurang setelah bercerita kepada keluarga dan teman-teman. Sekarang saya punya tambahan; Bobo (nama kesayangan). Hampir saban malam kami mengobrol melalui telepon atau video call. Kadang, tak benar-benar mengobrol. Hanya saling menatap saja. Belakangan setelah bersama Bobo, saya malah jarang menangis. Saya merasa terberkati! Disitu saya faham betapa besar dan pentingnya kasih sayang orang-orang terdekat sebagai support system disituasi berat. 

Mengembalikan cinta yang saya terima kepada orang-orang terdekat dan disekitar. Mengulurkan tangan menjadi jaring-jaring system yang menguatkan bagi orang-orang disekitar kita. Melakukan sesuatu apapun yang kita mampu seperti mendengarkan cerita-cerita mereka. Kelihatannya memang tak bermanfaat dan tak tahu apa efeknya. Tetapi orang merasa didengarkan, merasa release dan seperti yang rasa rasakan ketika bercerita dengan Bobo. Saya merasa tidak sendirian. Saya ingin perasaaan tersebut juga menular bagi orang-orang yang saya sayang.

Semoga kita semua kuat melewati hari-hari kedepan! Mari bertahan sekuat-kuatnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Umar dan Sembilan Butir Peluru yang Selalu Dibawanya

Tahun 2019, saya menggantikan Faisal Hadi sebagai interpreter untuk seorang periset bernama Amoz J. Hor. Bersama Hendra Saputra, kami berkunjung ke beberapa tempat sepanjang pantai timur Aceh. Perjalanan tersebut berlangsung selama hampir dua minggu. Dari banyak narasumber yang kami temui, salah satunya Umar. Ia adalah mantan ajudan Teungku Ishak Daud—Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Peureulak. Di awal, Umar terkesan defensif, tampak tak suka dengan kedatangan kami, terutama ketika hendak diwawancara. Wajahnya datar tanpa emosi, sulit meraba apa yang ia pikirkan saat itu. Usaha saya untuk beramah-tamah terasa sia-sia belaka karena Umar terlihat amat ketus. Hati kecil saya bergumam, kalau tidak berkenan diwawancara kenapa menerima sejak awal? Orang ini terkesan plintat-plintut. Saya mengalami jalan buntu dalam mencari jalan keluar untuk memecah kebekuan di meja. Amoz tampaknya bisa merasakan itu. "Nana tidak usah terlalu berusaha. Tidak apa-apa, kita minum kopi saja,&quo

Suzuya Mall Banda Aceh Terbakar

Suzuya Mall Banda Aceh, letaknya di Seutui. Kampung tempat saat ini saya tinggali, waktu tempuh sekira 20 menit saja kalau jalan santai atau 4 menit dengan sepeda motor. Tempat perbelanjaan (hampir) serba ada ini gak terlalu spesial, cuma sering ada diskon dan beberapa barang/merek yang gak dijual bebas seperti Ace, The Body Shop, Miniso aja yang buat saya kesana. Tentu, sebagian besar bukan belanja beneran barang-barang tersebut melainkan window shopping , cari inspirasi atau nambah semangat nabung . Biasanya, setiap dua minggu saya selalu belanja bahan rumah tangga. Sebagian barang yang tahan lama saya beli di pasar modern seperti swalayan, banyak diskon yang ditawarkan. Sementara bahan tak awet seperti sayuran dan ikan saya beli di pasar tradisional, karena biasanya lebih murah dan seringkali langsung dari tangan pertama (petani). Itu kebiasaan yang sudah saya bangun sejak 2 tahun yang lalu untuk menjaga efisiensi dan tetap ekonomis. Rino suka menemani saya belanja, yang sebenarnya

Membersamai Langkah Kaki

Bo, adang-kadang saya merasa kalau kita sudah lama sekali bersama dalam hubungan ini. Hahaha. Padahal setelah saya hitung, baru setahun setengah, PAS! Hey, happy 1,5 tahun and still count yah. Saya gak akan malu-malu nunjukin perasaan saya, orang-orang bilang nanti kalau putus bisa malu. Kalau ga jadi nikah bisa malu. So, what? Kenapa memangnya? Dunia ini terlalu kecil untuk menggosipkan kita, right? Tapi, entah Bo juga menyadarinya bahwa tiap kali kita berjauhan entah karena urusan kerja atau sesuatu. Selalu ada barang milik pasangan yang dibawa serta. Cara bagi kita untuk terus membersamai. Seingat saya, kamu yang memulainya saat saya bertugas ke Bener Meriah. Eh, atau saya yang memulainya saat ke Bener Meriah. Kita uji saja sayang, siapa yang lebih dulu melakukannya. Dan pemenangnya, harus diberi hadiah, hahaha.  (fotonya justeru saat sedang di Lampuuk) Saat itu, saya bertugas kemana gitu lupa (Bener Meriah deh kayaknya) dan meninggalkan jaket orange-hijau lumut saya untuk kamu paka