SEMBARI MENANTI BELAHAN JIWA

Jika orang-orang bilang, pada masa sekarang perempuan lebih mudah menentukan nasibnya termasuk pada pilihan-pilihan atas pernikahan. Nyatanya itu tidak berlaku bagi saya. Tiap lebaran atau pulang kampung, pasti ditanya-tanya. Sebenarnya saya sudah kadung membandel dan tidak peduli.

Suatu ketika, keluarga pernah mempertanyakan "kenormalan" saya. Aih, apa pula itu yang normal dan tak normal. Bahkan kalau saya aseksual sekalipun, sungguh itupun bukan ketidaknormalan. Sejujurnya, jauh didalam hati saya ada sebuah keinginan: keterpasangan. Tak diungkapkan adalah soal lain.

Apakah saya memiliki gambaran mengenai kehidupan bersama? Dari keluarga inti, saya menangkap kegagalan. Sebagai pendamping korban kekerasan di Pusat Pelayanan Terpadu, yang terasa juga tak berbeda. Saya juga menangkap realitas-realitas yang tak menyenangkan dalam aktivitas berumah tangga. Mencari-cari, apa yang salah dalam proses itu. Kenapa bisa terjadi?

Kengapa mentransfer harapan atau apa yang dirasakan pada pasangan pun jadi sesuatu yang sulit terjadi. Kenapa? Mengapa setelah menikah hubungan jadi berubah? Tak lagi selepas dulu dalam menyatakan apa yang diinginkan atau difikirkan. Menahan semua rasa sakit dan memendam tanya sendirian. Terluka sendirian, kenapa harus melakukan itu?

Saya takut? iya! Khawatir? Iya. Lalu, entah sejak kapan saya mulai mencari, format yang tepat dalam berpasangan. Saya bertanya pada pasangan-pasangan diluar sana, tentang apa yang mereka rasakan dan lakukan dalam hidup bersama. Pada mereka yang telah menikah, saya bertanya-tanya. Dalam perjalanannya, saya menemukan satu pasangan di Jakarta yang setiap 3 bulan melakukan evaluasi pernikahan. Sumpah! evaluasi pernikahan. Mereka dengan terbuka dan "harus" menerima kritikan pasangan atas sikap dan laku mereka yang menjadi ganjalan hubungan rumah tangga. Saya merasa ajaib. I mean surpraise ...

Tapi, menemukan keterpasangan seperti yang kita bincang diatas. Menerima kita, saling kompromi bukan hanya menuntut dan memaksa kita beradaptasi bukan hanya dari satu pihak tetapi dari kedua belah pihak. Sungguh sulit adanya. Privilege sebagai seorang suami oleh kultur kita yang harus dilayani. Ketidakseimbangan ini membuat laki-laki menjadi lebih sulit peka dan merasa.

Pada titik ini perempuan jadi merasa cinta laki-laki menjadi tak sama. Menanti afeksi-afeksi ringan sampai harus memuja-muja. Pada akhirnya saya memutuskan. Sampai pada waktu yang entah kapan itu. Saya akan menikahi diri sendiri. Alih-alih menunggu orang mencintai saya, saya sendiri yang harus terlebih dahulu mencintai diri sendiri. Menikahi diri saya sendiri. Memberi diri seluruh cinta dan upaya memenuhinya. Menikmati waktu waktu yang paling berharga dalam kehidupan dan menggenapinya dengan rasa syukur serta belajar.

Saya berterima kasih pada diri sendiri, yang selalu siap menjadi tempat orang orang berbagi. Menjadi pendengar bagi saudari saudariku. Tentu pernah salah dan khilaf, saya hendak meminta maaf pada diri sendiri, atas kesakitan2 yang tak sengaja saya lakukan dan berikan pada diri. Saya berjanji pada diri untukselalu bahagia.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Bagi Jomblo Menghadapi Weekend

Suzuya Mall Banda Aceh Terbakar

Jogja, Istimewa (Sebuah Catatan Perjalanan)