Langsung ke konten utama

BUMI dan MARS (2)

Rasa Bumi semakin menjadi-jadi jika tak mau dikatakan tak terkendali. Pertanyaannya, apatah manusia serupa robot yang bisa dikontrol dengan remot? Pikirannya diselimuti perasaan. Mars adalah segala baginya. Bumi berotasi bukan lagi pada dirinya, dan itu sudah sejak lama. Pusatnya adalah Mars. Revolusinya. Demi Mars, Bumi rela melakukan apapun. Apapun!

Apakah bumi diperbudak oleh rasa?

Saat Bumi tahu Mars menikah, ia serupa gila. 
Perpisahan diantara mereka mulai terasa bahkan sebelum janji suci terikrar. Saban waktu, Bumi psikosomatis tiap kali mengingat Mars ia merasa mual dan pusing. Ia tak hendak menelan apapun, tak ada lapar. Ia ingin Mars saja. Disini.

Ia patah, sepatah patahnya. Segala yang telah mereka bagi bersama jadi tak bermakna. Menjadi sia.
Betapa menyedihkannya, ia akan ditinggalkan sendiri lagi, semesta energi Bumi menjadi hilang. Terambang tanpa gravitasi.

Ia menghirup aroma Mars dalam jubahnya yang kemerahan. Menyesakkan hatinya, paru-paru seolah sempit seperti teracuni karbondioksida. Bumi menginsafi diri, dengan segala perbedaan diantara mereka. Mars memang bukan untuknya. Takdir mereka memang bertemu tapi tidak bersama. Jika, mereka berdua bahagia selama ini, itu karena kedewasaan Mars menerima Bumi dan sebaliknya.

Dalam rasa sakit itu, ia sesungguhnya marah, tak tahu pada siapa. Pada Mars, pada Tuhan atau takdir yang dipilih untuknya. Ia juga ingin membenci Mars namun jiwa yang ia paksa itu masih mencinta. Pikirannya tak jalan, buntu! Kombinasi rasa yang ganjil dan menghujam ulu hati!

Bumi tersedu, dalam tahun-tahun terakhir inilah hujan paling deras mengalir dari matanya. Hari-hari yang ia lalui dalam tawa dengan Mars menjadi tiada. Apa Bumi menyesal sebab hanya menjadi "adik". Jika ia membongkar rahasia hatinya, apakah mereka masih baik-baik saja. Apakah Mars akan menerimanya? Mars memang menggenapi Bumi, tetapi apakah bagi Mars Bumi juga sebaliknya?

"Mars, maafkan aku atas segala salah padamu selama kita bersama"
"Hanya pada apa-apa yang pantas  untuk dimaafkan dik"

Bumi mengecup Mars, memindai segala aroma dan rasa Mars pada dirinya. Ia tak akan melupakannya seumur hidup. Bau tubuh Mars. Jika ini adalah batas, maka Bumi melewatinya. Pertama kali ia lakukan selama lima tahun mereka bersama. Ia tidak mengindahkan lagi norma. Adik macam apa yang memagut bibir abangnya? Non sense! I don't care!

Mars mematung tak membalas. Terkejutkah ia? Sejak dulu, Mars adalah samudera Bumi ... Ia memuaskan semakin diselam tetapi penuh pertanyaan. Dalamnya tak terjangkau, Bumi tak akan tahu isi hati Mars sampai kapan pun. Tapi satu hal yang Bumi tahu, bahwa ia mencintai Mars. Tanpa batas. Karena itulah,  Bumi harusnya mendoakan Mars agar bahagia. Bukankah itu yang sewajarnya Bumi lakukan? Bumi tidak bisa menipu diri, ia tak akan bisa bersikap biasa saja. Jika ia dan MArs tidak bisa bersama maka Bumi pun tak mampu melihat Mars bersama orang lain. "And this is how i say good bye Mars".


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Umar dan Sembilan Butir Peluru yang Selalu Dibawanya

Tahun 2019, saya menggantikan Faisal Hadi sebagai interpreter untuk seorang periset bernama Amoz J. Hor. Bersama Hendra Saputra, kami berkunjung ke beberapa tempat sepanjang pantai timur Aceh. Perjalanan tersebut berlangsung selama hampir dua minggu. Dari banyak narasumber yang kami temui, salah satunya Umar. Ia adalah mantan ajudan Teungku Ishak Daud—Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Peureulak. Di awal, Umar terkesan defensif, tampak tak suka dengan kedatangan kami, terutama ketika hendak diwawancara. Wajahnya datar tanpa emosi, sulit meraba apa yang ia pikirkan saat itu. Usaha saya untuk beramah-tamah terasa sia-sia belaka karena Umar terlihat amat ketus. Hati kecil saya bergumam, kalau tidak berkenan diwawancara kenapa menerima sejak awal? Orang ini terkesan plintat-plintut. Saya mengalami jalan buntu dalam mencari jalan keluar untuk memecah kebekuan di meja. Amoz tampaknya bisa merasakan itu. "Nana tidak usah terlalu berusaha. Tidak apa-apa, kita minum kopi saja,&quo

Suzuya Mall Banda Aceh Terbakar

Suzuya Mall Banda Aceh, letaknya di Seutui. Kampung tempat saat ini saya tinggali, waktu tempuh sekira 20 menit saja kalau jalan santai atau 4 menit dengan sepeda motor. Tempat perbelanjaan (hampir) serba ada ini gak terlalu spesial, cuma sering ada diskon dan beberapa barang/merek yang gak dijual bebas seperti Ace, The Body Shop, Miniso aja yang buat saya kesana. Tentu, sebagian besar bukan belanja beneran barang-barang tersebut melainkan window shopping , cari inspirasi atau nambah semangat nabung . Biasanya, setiap dua minggu saya selalu belanja bahan rumah tangga. Sebagian barang yang tahan lama saya beli di pasar modern seperti swalayan, banyak diskon yang ditawarkan. Sementara bahan tak awet seperti sayuran dan ikan saya beli di pasar tradisional, karena biasanya lebih murah dan seringkali langsung dari tangan pertama (petani). Itu kebiasaan yang sudah saya bangun sejak 2 tahun yang lalu untuk menjaga efisiensi dan tetap ekonomis. Rino suka menemani saya belanja, yang sebenarnya

Membersamai Langkah Kaki

Bo, adang-kadang saya merasa kalau kita sudah lama sekali bersama dalam hubungan ini. Hahaha. Padahal setelah saya hitung, baru setahun setengah, PAS! Hey, happy 1,5 tahun and still count yah. Saya gak akan malu-malu nunjukin perasaan saya, orang-orang bilang nanti kalau putus bisa malu. Kalau ga jadi nikah bisa malu. So, what? Kenapa memangnya? Dunia ini terlalu kecil untuk menggosipkan kita, right? Tapi, entah Bo juga menyadarinya bahwa tiap kali kita berjauhan entah karena urusan kerja atau sesuatu. Selalu ada barang milik pasangan yang dibawa serta. Cara bagi kita untuk terus membersamai. Seingat saya, kamu yang memulainya saat saya bertugas ke Bener Meriah. Eh, atau saya yang memulainya saat ke Bener Meriah. Kita uji saja sayang, siapa yang lebih dulu melakukannya. Dan pemenangnya, harus diberi hadiah, hahaha.  (fotonya justeru saat sedang di Lampuuk) Saat itu, saya bertugas kemana gitu lupa (Bener Meriah deh kayaknya) dan meninggalkan jaket orange-hijau lumut saya untuk kamu paka