Langsung ke konten utama

Mengungkap Gangguan Jiwa

Dibuka pada 23 Agustus hingga 26 Agustus mendatang. Sebuah Pameran Seni (Kolektif Tugas Akhir) dihelat di Rumah Budaya, di Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh.  Sesuai catatan kurator Donna Carolina, M.Sn yang saya kutip di spanduk besar yang terletak di aula. Bahwa tajuknya sebagai Gangguan Jiwa disandarkan atas kegelisahan empat seniman muda yang berefleksi dari kejadian masa lampau.     

        
        
Adapun mereka berempat adalah Nikmatun Imdad, Fachrurrazi, Taqwallah dan Rafi Karimullah. Mereka mengekspresikan pengalaman empiris Aceh dalam hal peradaban Islam, Budaya Aceh, pelanggaran HAM juga kerusakan lingkungan dalam berbagai media. Lukisan, kriya kayu, logam dan Mixed Media. Ini dilihat dari pemilihan judul dan pemilihan ekspresi simbolik seperti selongsong peluru, warna merah darah, kupiah meukeutop, nisan dan batang kayu. Tetapi ada pula beberapa karya yang dipajang disudut tak berjudul.

Dalam hal ini saya tidak akan mengulas soal teknik. Tentu saja itu dikarenakan oleh ketidakmampuan saya dibidang tersebut. Teknik, cara, model dan perkembangan seni biarlah diulas oleh mereka yang memang sudah ahli dibidangnya. Maka perkenankan saya mengulasnya dari sudut penikmat seni yang memfokuskan diri pada tema konflik bersenjata.



Sebagian besar menyampaikan tentang Pelanggaran HAM baik soal kerusakan lingkungan maupun konflik bersenjata. Ada yang diketahui dari judulnya dan ada pula yang dikenali lewat gambarnya.  Misalnya pada lukisan berjudul Arakundo. Adakah yang tak mengetahui sungai yang terkenal di Aceh sebab penemuan belasan mayat yang diikat dengan batu itu? Tapi lukisan ini hanya menghidang warna-warni yang carut marut merah, hitam, putih dan abu-abu. Jika tak membaca judul tertera, mustahil tahu. Ntah darah di tubuh mereka yang telah tak lagi ada merah. Atau ia berwarna abu-abu sebab kasusnya tidak ada kejelasan hingga hari ini. Barangkali hitamnya menggambarkan cerita tak terungkap dibalik pembantaian. Benar kelam. Saya tak mengenali arakundo yang dalam kesemrawutan.

Lainnya yang tak kalah menarik perhatian khusus saya adalah, 3 selongsong peluru yang tersebar di kanvas luas yang kalau ditari garis imajiner menjadi segitiga. Ia disana terkurung dalam keruwetan tali-temali halus berwarna. Judulnya tersesat. Apakah yang tersesat? Peluru? Kenapa tersesat? Sedang mencari jalan keluarkah? Dimana ia sekarang? Tubuh manusiakah? Apakah ini yang disebut peluru nyasar? Jika iya, maka tali-temali ialah simbol nadi. Begitulah dalam karya penikmat ini bertanya-tanya.



Tetapi ada juga yang cukup terang-terangan seperti pada lukisan berjudul pelanggaran. Ada percikan-percikan yang saya terjemah sebagai darah, juga ada gambar pistol dan senjata laras panjang yang ditodongkan pada perut bunting seorang perempuan yang kakinya diborgol. Pelanggaran amat ringan rasa nilai katanya, lebih dari itu dimata saya ini adalah bentuk penggambaran dari kebiadaban.

Tetapi penting untuk diingat bahwa masyarakat Aceh memiliki standarnya sendiri mengenai pelanggaran HAM sebab secara empiris ia pernah menyata. Itulah mengapa realitas ini biasanya sulit dikomunikasikan kembali oleh mereka yang bukan orang pertama, lebih-lebih oleh orang kedua atau ketiga.  Sehingga kalau ia ingin disajikan kembali dengan media, tawarannya adalah konflik dan pelanggaran HAM tak cukup menjadi ilham dan inspirasi. Ia harus diselami sehingga “rasa” nya menjadi kuat dalam memberi pesan bahwa ini semua tentang kita (Aceh).


                       
Mereka berempat, para seniman itu apakah sedang memberi kita peluang untuk menarasikan “gangguan jiwa” yang mereka derita? Atau barangkali ini adalah kegelisahan pribadi yang entah ingin atau tidak dikenali. Terserah saja. Digelar tentu untuk dinikmati. Bagi temans yang hendak menikmati langsung, segera merapat ke Rumah Budaya untuk menikmatinya. Mengulang yang disampaikan oleh Bapak Dedi Apriadi, M.Sn dalam pembukaan acara bahwa pameran ini akan menjadi perjalanan baru dalam perjalanan seni budaya Aceh.

*Tayang di Rubrika pada 25/8/2019


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Umar dan Sembilan Butir Peluru yang Selalu Dibawanya

Tahun 2019, saya menggantikan Faisal Hadi sebagai interpreter untuk seorang periset bernama Amoz J. Hor. Bersama Hendra Saputra, kami berkunjung ke beberapa tempat sepanjang pantai timur Aceh. Perjalanan tersebut berlangsung selama hampir dua minggu. Dari banyak narasumber yang kami temui, salah satunya Umar. Ia adalah mantan ajudan Teungku Ishak Daud—Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Peureulak. Di awal, Umar terkesan defensif, tampak tak suka dengan kedatangan kami, terutama ketika hendak diwawancara. Wajahnya datar tanpa emosi, sulit meraba apa yang ia pikirkan saat itu. Usaha saya untuk beramah-tamah terasa sia-sia belaka karena Umar terlihat amat ketus. Hati kecil saya bergumam, kalau tidak berkenan diwawancara kenapa menerima sejak awal? Orang ini terkesan plintat-plintut. Saya mengalami jalan buntu dalam mencari jalan keluar untuk memecah kebekuan di meja. Amoz tampaknya bisa merasakan itu. "Nana tidak usah terlalu berusaha. Tidak apa-apa, kita minum kopi saja,&quo

Suzuya Mall Banda Aceh Terbakar

Suzuya Mall Banda Aceh, letaknya di Seutui. Kampung tempat saat ini saya tinggali, waktu tempuh sekira 20 menit saja kalau jalan santai atau 4 menit dengan sepeda motor. Tempat perbelanjaan (hampir) serba ada ini gak terlalu spesial, cuma sering ada diskon dan beberapa barang/merek yang gak dijual bebas seperti Ace, The Body Shop, Miniso aja yang buat saya kesana. Tentu, sebagian besar bukan belanja beneran barang-barang tersebut melainkan window shopping , cari inspirasi atau nambah semangat nabung . Biasanya, setiap dua minggu saya selalu belanja bahan rumah tangga. Sebagian barang yang tahan lama saya beli di pasar modern seperti swalayan, banyak diskon yang ditawarkan. Sementara bahan tak awet seperti sayuran dan ikan saya beli di pasar tradisional, karena biasanya lebih murah dan seringkali langsung dari tangan pertama (petani). Itu kebiasaan yang sudah saya bangun sejak 2 tahun yang lalu untuk menjaga efisiensi dan tetap ekonomis. Rino suka menemani saya belanja, yang sebenarnya

Membersamai Langkah Kaki

Bo, adang-kadang saya merasa kalau kita sudah lama sekali bersama dalam hubungan ini. Hahaha. Padahal setelah saya hitung, baru setahun setengah, PAS! Hey, happy 1,5 tahun and still count yah. Saya gak akan malu-malu nunjukin perasaan saya, orang-orang bilang nanti kalau putus bisa malu. Kalau ga jadi nikah bisa malu. So, what? Kenapa memangnya? Dunia ini terlalu kecil untuk menggosipkan kita, right? Tapi, entah Bo juga menyadarinya bahwa tiap kali kita berjauhan entah karena urusan kerja atau sesuatu. Selalu ada barang milik pasangan yang dibawa serta. Cara bagi kita untuk terus membersamai. Seingat saya, kamu yang memulainya saat saya bertugas ke Bener Meriah. Eh, atau saya yang memulainya saat ke Bener Meriah. Kita uji saja sayang, siapa yang lebih dulu melakukannya. Dan pemenangnya, harus diberi hadiah, hahaha.  (fotonya justeru saat sedang di Lampuuk) Saat itu, saya bertugas kemana gitu lupa (Bener Meriah deh kayaknya) dan meninggalkan jaket orange-hijau lumut saya untuk kamu paka