TIKUS BERMATA MERAH

Ada lelaki tua di kampungku. Usianya sungguh tak dapat kutaksir. Sudah kutanya pada orang-orang tua di dusun. Mereka pun tak tau, yang pasti sudah sangat tua. Sebagai  gambaran saja buatmu,  waktu kukecil saja ia sudah kami panggil Nek. Sekarang aku sudah berusia 25 tahun. Dapat kau bayangkan kawan berapa usianya?

Setiap hari ia berjalan sendirian menyusuri lorong-lorong. Kadang ia membawa beberapa benda. Kadang membawa balok sebesar pemukul kasti, sesekali minyak tanah dan pernah tak sengaja kulihat ia sedang memainkan pemantik api.

Nek Daud namanya. Mulutnya menggumam tak pernah berhenti, sekali-sekali terdengar suaranya berselawat, kali yang lain ia bersenandung tak jelas atau mengoceh sendiri. Tak tanggung, suara Nek Daud jelas terdengar sampai ke ujung lorong.



Kubilang saja, orang-orang tidak ada yang memperdulikan hal ini, mereka sudah cukup sibuk dengan urusannya masing-masing. Suaranya serupa angin saja. Seminggu tidak terlihat, jalanan terasa sepi. Tapi siapa yang peduli? Lagipula ia hanya melegenda saat tertentu saja. 

Disiang hari saat anak-anak membandel tak mau disuruh tidur atau saat anak-anak melakukan apa yang dilarang oleh orang tuanya. Nek Daud  seketika menjadi aktor cerita jahat seantero gampong. Kaum ibu dengan benitu semangatnya menjadikan Nek Daud sebagai pemeran utama dalam hikayat orang gila untuk menakuti anak-anaknya.

Lalu kucoba mengingat-ingat, sejak kapan pula Nek Daud ini menjadi gila?

***

Dua tahun belakangan Nek Daud sering berjalan sendirian.  Sarung bercorak kotak-kota biru dongker yang mulai kehilangan garis warna melilit pinggangnya. Pada suatu sore di hari Jumat, saat semua aktivitas bersawah dan melaut diliburkan. Hampir saja lumbung penyimpan beras milik Keuchiek Nuh terbakar.

Untungnya, sebelum kobaran api menjadi besar ada masyarakat yang sempat melihat Nek Daud masuk lumbung padi sambil memantik api dari mancisnya.  Api dipadamkan kejadian tersebut. Nek Daud dipulangkan ke rumah keluarganya.

Masyarakat semakin ramai berdatangan ke lumbung. Mereka mulai berbisik-bisik melihat isi ruangan 4x4 meter tersebut. Puluhan beras dengan logo berwarna oranye tersusun rapi. Tak jadi hangus dimakan api memang tapi pemandangan ini menjadi bara api baru yang tak terkata.

“Alhamdulillah, Allah masih sayang pada kita. Jika tidak ada yang melihat, beras raskin untuk masyarakat sudah pasti tidak jadi dibagikan bulan depan” jelas Keuchik Nuh di hadapan warga tiba-tiba.

Setelah kejadian itu, keadaan bukannya membaik. Tingkah Nek Daud semakin menjadi-jadi.  Sialnya, Setiap kali Nek Daud bertemu pandang dengan Keuchik Nuh. Ia seperti melihat Iblis. Pernah saat lewat di halaman kantor Gampong beliau memukul geuchik Nuh dengan balok seukuran pemukul kasti. Untung saja aparatur gampong dan staf masih ada sehingga dapat diselamatkan. Kalau tidak, barangkali siang itu juga terpaksa dilaksanakan fardhu kifayah. Di kesempatan yang lain, pernah kambing milik sekretarisgampong dijeratnya pakai tali.

Ah ya, dari sana bermula Nek Daud mendadak dipanggil gila.

***

Awal Juni kemarin aku pulang kampung. Niat hati bersama keluarga merayakan Hari Raya Idulfitri. Bertahun-tahun merantau terasa wajah gampong mulai berubah. Alih-alih naik Honda sengaja kupinjam sepeda keponakan untuk berkeliling. Melihat sawah, ladang, ke rumah uwak, menikmati suasana yang begitu mewah ini.

Siang datang, aku mengayuh sepeda pulang, kulewati sawah demi jalan pintas. Sial memang, ban sepeda bocor tertusuk kulit keong mas.  Terpaksalah sepeda kudorong, sebab kalau memaksa untuk tetap dinaiki tentu akan rusak juga pelaknya.
Kulihat laki-laki tua duduk di amben depan rumah dekat sawahLama kulihat kulihat air mukanya. Aku tersirap, inilah sudah jatuh tertimpa tangga. Laki-laki tua itu Nek Daud gila! Mau berlari sudah tak kuat lagi, kupaksa saja seramah mungkin sambil menyapa.

“Neekkkk...”

Orang gila juga manusia, kalau kita baik-baik masakan menyerang begitu saja?

Piyoh dilee keunoe” Nek Daud memaksa sambil tangannya mengaut-ngautku, wajahnya sampai terangguk-angguk. Dia tersenyum!

Daripada dikejar pakai balok atau dibakar. Barangkali baik juga jika aku memilih mendekatinya untuk sekedar melepas lelah sambilmenumpang berbagi dudukSaat itu baru kuinsafi, ada borgol di kakinya. Sekali lagi tersirap darahkuTetapi lari sekarang pun akan menjadi perilaku paling pecundang. Jadi aku duduk diam didekatnya. Itulah pertemuan pertamaku yang sebenarnya dengan tokoh terkenal di seluruh kampung. Selama ini hanya hanya terhubung melaui cerita-cerita suram saja.

"Lihatlah, bahkan keluargaku juga memborgolku agar aku tidak bisa kemana-mana. Menganggapku gila dan menyakitiku," katanya.

*ilustrasi tikus mata merah (google)

Lalu aku agak mendekat ke arahnya, dia menyambung lagi ceritanya. Dia bersungut-sungut bercerita. Katanya ia hampir saja dapat membunuh tikus bermata merah jelmaan iblis. Ia juga masih kecewa dan merasa marah pada warga yang tak percaya padanya bahkan sampai menggagalkannya membunuh hewan pengerat tersebut.

Kau tahu, yang satu itu ada di lumbung padi Keuchik Nuh. Tikusnya banyak sekali, hampir sebesar karung goni. Aku bisa melihatnya Nak, sungguh!”

Aku terdiam mengingat cerita pembakaran hampir dua tahun yang lalu. 

"Mereka semua gila, sengaja membiarkan tikus itu beranak-pinak di kantor desa. Dasar pemuja Iblis”

“Siapa mereka Nek?”

Tiba-tiba dia menempelkan tangannya di telingaku lalu berbisik,
Keuchik Nuh dan kawan-kawannya



* Piyoh dilee keunoe = Singgah dulu kemari
*cerpen ini sudah dimuat di Harian Serambi Indonesia 30/6/2019 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Bagi Jomblo Menghadapi Weekend

Suzuya Mall Banda Aceh Terbakar

Jogja, Istimewa (Sebuah Catatan Perjalanan)