Apakah pembangunan PLTA Peusangan pantas dilanjutkan?
Krueng
peusangan merupakan daerah aliran sungai di Aceh yang melintasi 5
kabupaten/kota yang berhulu di Lut Tawar dengan panjang mencapai 128 km.
Kondisi DAS hari ini berstatus kritis nasional sebab galian C dan pembalakan
liar. Potensi debit airnya yang mencapai 16 miliar per kubik menjadikannya
memiliki potensi pembangkit listrik.
Untuk
memenuhi kebutuhan listrik negeri ini yang nantinya akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan prasarana investasi. Untuk meningkatkan ketersediaan
pasokan listrik pemerintah melakukan penambahan daya 35.000 Megawatt melalui
program nasional dicanangkan. Dalam rangka memenuhi listrik Sumatera akan ada
pembangunan-pembangunan pembangkit. Lima pembangkit listrik baru dibangun
di Aceh sejak 2017 hingga 2020 dengan daya mencapai 2.020 megawatt.
Termasuklah
didalamnya pembangunan PLTA Peusangan dan beberapa pembangkit listrik yang sebagian pengadaannya yang sedang dilaksanakan di Ladong dan Lhokseumawe. Energi yang dihasilkan keduanya hampir
mencapai 300 megawatt. Jika dijumlah dengan energi yang tersedia saat ini maka bukan hanya cukup bahkan surplus. Sebab menurut PLN kebutuhan listrik Aceh hanya 400
megawatt.
Setiap pembangunan merupakan bagian pengadaan. Dalam pembangunan amatlah rentan bukan hanya berpeluang
korupsi bahkan disusupi oleh banyak mafia. Hal ini dapat kita lihat dalam banyak proyek pengadaan
dalam dunia pendidikan seperti BOS atau kapitalisasi kesehatan seperti BPJS.
mari kita lihat bersama. Dalam
hal pembangunan PLTA Peusangan periode lanjutan ini yang didanai oleh PT.
Wijaya Karya dan Hyundai juga berpotensi demikian. Pembangunan PLTA ini yang
sempat terhenti karena beberapa hal termasuk konflik dan gempa. Berikut saya
kutip pernyataan Weddy GM PLN;
"Kami
harus melakukan studi ulang pembangunan PLTA Peusangan pasca gempa di Aceh
Tengah, yang terjadi beberapa tahun lalu. Sebagian besar pembangunan proyek ini
berada di bawah tanah, jadi harus benar-benar didukung dengan hasil kajian dan
perencanaan yang sempurna. Kami mendesain ulang pembangunannya,"
Jika karena konflik, damai Aceh setelah penandatanganan MoU pada 15
Agustus 2005 kita sudah 13 tahun lamanya. Begitu juga dengan gempa Gayo yang
terjadi pada 2013 yang lalu artinya hampir 5 tahun berlalu dan pembangunan ini
tidak juga selesai. Mengapa demikian?
Ada banyak pertanyaan melintas di pikiran kita yang penuh kekhawatiran
ini. Diantaranya, sebagai
wilayah bencana, apakah proyek itu dibangun di kawasan patahan gempa? Jika ya,
apakah pendiri proyek sudah tahu dan tetap diteruskan? JIka tidak, tampaknya tidak
mungkin sebab mereka tidak segoblok itu apalagi dengan dukungan oleh uang dan
para ahli. Kenapa proyek tidak rampung-rampung? Pendanaan yang multi years itu
lebih enak dikorupsi kah? Atau apa alasannya? Berapa tahun fase konstruksi yang
direncanakan sebenarnya? Terakhir, sudahkah sinkronisasi dengan wilayah rawan?
Agar tidak menjadi fitnah yang tidak berkesudahan dan
berakibat fatal maka diperlukan beberapa hal yakni material trial (dokumen) misalkan
AMDAL dan kawan-kawannya serta site trial sebab saya sendiri belum pernah
berkunjung kesana. Jika ada yang berkenan mengajak, dengan senang hati. Dari sana
(peninjauan dokumen dan tempat) barulah kita dapat menyelesaikan pertanyaan
awal dari tulisan ini. Pantaskah pembangunannya dilanjutkan?
*Foto dari Google
Komentar
Posting Komentar