Menanti Janji Senja
Maya
bukan tidak biasa hidup sendirian. Dia telah melakukannya selama 13 tahun
terakhir. Sejak Ayah Putri meninggal, ia tegas menolak lamaran setiap laki-laki
yang hendak memperistrinya baik dalam ikatan perkawinan yang legal maupun
dibawah tangan. Begitu pula tawaran beberapa sanak saudara yang bermaksud baik
maupun sebaliknya, ajakan untuk tinggal bersama dan merawat Putri anaknya
dengan sopan ia tolak. Dalam hari-hari yang berat itu ia telah cukup
mengejutkan dirinya sendiri dan orang orang lain disekeliling yang
menganggapnya akan kesulitan apalagi ia masih terlalu muda untuk hidup sendiri tanpa
suami yang mengurus segala sesuatunya.
Namun
Maya ternyata bisa melewatinya dengan baik hingga hari ini. Meski berat ia
telah belajar dengan keras untuk melakukan semuanya sendirian; membesarkan Putri
dan kembali bersekolah, sesuatu yang sempat ia tinggalkan dulu. Tentu saja ia
rindu pada Ayah Putri terutama di saat saat senja, saat dulu sekali biasanya
suaminya pulang dengan sepeda motor sambil mengalung serentengan makanan
ringan; kacang, kuaci, medan jaya
atau krip krip lalu berhenti
dipinggir jalan sambil berteriak menyorakinya yang sedang bermain lompat tali
di halaman rumah Mimi, tetangga sekaligus temannya sejak kecil.
Mendengar
itu bibir Maya tersungging menampakkan gigi-gigi putih yang berjejer rapi,
tanpa malu-malu ia akan mengangkat roknya tinggi lalu meloncati rintangan tali
yang dipilin dari karet gelang berwarna merah. Kemudian ia dengan cepat berlari
menuju jalan raya menghampiri Bang Zaqi, mengambil hadiah lalu berbalik kepada teman-temannya
yang seolah terhipnotis berhenti bermain demi menunggu pembagian hadiah.
“aku pulang ya, abang sudah jemput” pamitnya pada
teman-teman yang sedang sibuk berebutan.
***
Puber
pertama pada pemuda kampung sebelah yang setiap pagi duduk diwarung Wak Diman dekat
rumah hanya untuk melihatnya pergi sekolah berakhir dengan pernikahan karena
orang tua mereka takut anak-anaknya berbuat dosa. Waktu itu Bang Zaqi berusia
20 tahun sedangkan Maya baru saja masuk kelas satu Sekolah Menengah Pertama,
usia yang begitu muda; 14 tahun. Ya, saat itu Maya memang masih anak-anak.
Juga
masih jelas saat pertama kali mereka tidur bersama; malam pertama kata
orang-orang. Ia dan Bang Zaqi menghabiskannya dengan bercerita tentang sekolah
dan banyak hal hingga kokok ayam pertama kali terdengar saat fajar sadiq. Begitu pula dengan malam-malam selanjutnya
seolah tiada habis cerita demi cerita bersambung setiap malam. Namun setelah
tiga minggu, Bang Zaqi mengakhiri cerita-cerita malam tentang banyak hal dengan
rasa sakit yang luar biasa saat berjalan atau buang air yang harus ia tanggung
hingga seminggu kemudian. Abang juga yang selalu menimba air lalu mengisinya
kedalam bak hingga penuh agar ia tidak harus diluar dan menimba air jika mandi
malam hari atau menjelang pagi.
“Biar
adek gak cape menimba” alasannya waktu itu.
***
Maya
tidak akan pernah lupa, sore itu di hari ke seratus dua puluh lima mereka
menikah. Beberapa laki-laki datang membawa pulang Bang Zaqi yang pergi ke peukan sejak pagi untuk berbelanja
kebutuhan mereka sambil membawa beberapa hasil kebun untuk dijual disana. Belum
sempat bertanya Maya telah memperoleh jawabannya.
“ada
kontak senjata di pasar, Bang Qi ditembak” kata salah seorang laki-laki yang
ikut mengangkat Bang Zaqi dengan nafas tersengal karena menaiki tangga rumah Aceh.
Telinganya
berdenging, kepalanya seolah kosong namun dengan sigap Maya lalu memeluk tubuh
yang telah merah itu, ia menyeka darah yang seolah tak ada habis-habisnya terus
mengalir dari tiga lubang yang ada di dada Bang Zaqi. Bahkan beberapa helai
kain pun tak mampu menghilangkan warnanya. Orang-orang Tua semakin ramai
berdatangan; Keluarga, Tgk. Imuem, Geuchiek, Tuha Peut dan para tetangga. Maya tahu apa yang selanjutnya akan
terjadi, membayangkannya saja membuat ia bergetar. Lalu dengan kasar menepis
tangan tangan yang hendak membantu.
“Tidak
perlu! Biar dia tidur dipangkuanku sebentar lagi” hardiknya dengan gigi
gemeretak dan mata berkaca-kaca.
Rasa-rasanya
ia tak ingin Bang Zaqi diambil untuk diselesaikan fardhu kifayah atasnya. Lamat-lamat memandang wajah yang sebentar
lagi kan dimakan bumi. Maya diam untuk waktu yang lama, ia sangat mahfum bahwa
selama konflik Aceh nyawa manusia ibarat hewan buruan di hutan, tidak peduli
laki-laki, perempuan ataupun anak-anak. Diperkosa, dibunuh, disiksa dengan cara
sadis yang tak pernah dapat dibayangkan atau dihilangkan secara paksa merupakan
hal biasa tidak peduli bersal ah maupun tidak tanpa ba bi bu atau investigasi
terlebih dahulu siapapun dapat menjadi korban puluru nyasar, tembakan dari
orang tak dikenal dan salah tangkap. Keadilan bukan sesuatu yang dapat dicari dan
dipertanyakan hingga hari ini. Lalu dalam putus asa Maya menginsafi diri bahwa
tidak ada yang lebih pahit dari kehilangan, meskipun ia berteriak-teriak
bertanya siapa pembunuh suaminya. Abang salah apa? Dia sangat baik dan tidak
pernah melukai orang lain, juga sangat taat beribadah. Heninglah yang menjawab.
Maya
juga telah mengenal arti ditinggalkan sejak neneknya terkena serangan jantung
tiba-tiba dan meninggal dunia. Namun abang belum setua nenek untuk meninggal,
meninggalkan Maya dan calon bayi diperut yang tidak ia sadari sama sekali
hingga 44 hari khanduri arwah. Mereka
juga belum sempat melakukan banyak hal bersama bahkan janji abang untuk membawa
Maya bermain di senja hari ke pasar malam
sebagai ganti bermain tali karena Mimi marah sebab ia tak sengaja merusak
tali karet yang baru selesai dipilinnya, tragedi yang menyebabkan Maya tidak boleh
ke rumah Mimi untuk bermain selama hampir sepekan.
Ah,
sepertinya sudah takdirnya mengingat hal-hal manis namun terasa sakit disaat
bersamaan. Hatinya ngilu. Tetapi kini ketika duka sudah melebur dengan luka,
Maya malah cukup senang karena kesakitan-kesakitan itulah yang menuntunnya mengendalikan
kehidupan di waktu-waktu yang sulit. Kini ia telah sarjana dan bekerja, bersama
Putri disisinya hidup terasa lengkap sudah. Meskipun seringkali seolah menagih
janji senja, sambil duduk di tangga rumah sambil mendongak ke arah jalan. Siapa
yang dinantinya selain kenangan? Ia pun tak tahu. Lalu lama-lama, cahaya
matahari yang keemasan di barat semburatnya memudar, awan gelap pelan-pelan
memenuhi cakrawala dan riuh anak-anak
yang hendah ke meunasah terdengar.
Jika
rindu adalah penyakit, bukankah pertemuan yang menjadi penawar? Tetapi, penawar
seperti apa yang bisa membangunkan orang mati? Apa dendamnya akan hilang jika
pembunuh suaminya juga berdarah dengan tiga lubang ditubuh mereka? Atau bila
penembak ia yang tak tahu siapa mereka meminta maaf atas peluru tanpa tujuan
yang mereka lepas dari senjata datang, akankah kesumat yang telah belasan tahun
menjadi luka menganga akan terjahit? Pertanyaan–pertanyaan yang selalu berputar
dikepalanya terus mendesak ibarat genangan air yang mencari muara. Kenapa bang
Zaqi dibunuh? Apa salahnya? kematian dengan dengan tanya besar ini, kemana
harus ia cari jawabannya?
Maya
mulai gelisah, rasa cemas menyusuri nadi dan ikut mengalir ke seluruh tubuh
bersama darah dan air mulai menggenangi sudut mata lalu tumpah tanpa suara
mengkhianati kata-kata yang selama ini sudah dirapalnya serupa mantra “aku bisa
dan baik-baik saja.” Padahal ia telah
berjanji untuk tidak menangis demi Putri dan belajar untuk egois menikmati masa
mudanya yang sempat terhenti.
Jika
esok atau lusa ada laki-laki yang datang untuk melamar dan Maya menerimanya bukan
karena tidak biasa hidup sendirian. Dia telah melakukannya selama 13 tahun
terakhir. Bersama angin waktu di tempat ia biasa menanti senja, pikirannya
melayang dan mendarat di sore-sore yang berat yang telah ia lewati.
*)Foto dari google
*)Foto dari google
Keren 👍👍👍
BalasHapusMakasih kakak sayang ..
BalasHapus