Harapan Pasangan Tua

Assalamu’alaikum warahmatullah..” usai shalat subuh Pak Rahman segera melipat sajadah biru yang sudah mulai terkelupas benangnya itu, ia tak lagi melanjutkan do’a karena mendengar suara gaduh di jalanan yang berjarak tak lebih 5 meter dari rumahnya. Belum sempat bertanya, dengan tergopoh-gopoh istrinya sudah menyongsongnya. 
“Abi, ada bayi dibuang di pematang sawah,” kata istrinya dengan suara bergetar.
“Apa?” tanya Pak Rahman seolah tak percaya pada pendengarannya.
“Siapa bilang?” ulangnya.
“Itu, si Ali! Tadi subuh dia ke sawah mau membuat  peuneuduk[1]. Eh, nggak  tahunya dia melihat bungkusan bayi di pematang” jelas Mak Khatijah, istrinya.

Darah Pak Rahman berdesir. Jantungnya tiba-tiba berdegup sangat kencang. Rasanya ia ingin sesegera mungkin ke sawah. Ia ingin melihat bayi itu. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia ingin...

Ia pamit pada istrinya. Setengah berlari menuju pinggiran kampung  arah menuju glee[2], ke sawah dimana bayi itu berada. Sesampai disana ia segera menerobos kerumunan orang-orang yang juga melihat bayi itu. Tanah becek dan berlumpur saksi sisa hujan semalam pun tak ia perdulikan, tanah kuning dan liat menempel di ujung-ujung sarung  dan menjadikannya kotor. Padahal biasanya ia sangat berhati-hati karena merupakan satu-satunya sarung terbaik yang dimlikinya dan hanya dipakai khusus saat ibadah shalat.

Dan, seketika Pak Rahman ternganga. Terkesiap. Disebutnya asma  Allah berkali-kali ketika ia melihat tubuh sang bayi dihadapannya itu. Dengan tangan gemetar, ia meraba dadanya. Mencari detak jantungnya. Tapi, Pak Rahman tidak menemukannya. Setengah tak percaya pak Rahman kembali memeriksa dan bayi itu yang memang tak ada lagi detak jantungnya. Tak ada lagi nafas lembut yang seharusnya berhembus dari hidungnya. Bayi itu sudah mati. Ia mati ditangan makhluk yang tak pantas disebut  manusia.

Dielusnya pipi bayi yang telah dingin itu. Dada Pak Rahman terasa penuh-sesak. Wajahnya yang dingin karena udara pagi pun menjadi panas. Rasa sayang bercampur kasihan menyeruak dalam hatinya, membuatnya  ingin meneteskan air mata. Tapi tidak-ia tak boleh menangis. Perasaan itu ditekan sekuat mungkin. Ditatapnya bayi itu dalam-dalam. Suara gaduh disekeliling tak membuat ia bergeser sedikitpun dari tempatnya. Ia asyik menikmati wajah bayi tak berdosa itu.

“Wah, ini pasti perbuatan orang  yang semalam itu!” Abu Bakar tetangga Pak Rahman yang juga bilal angkat bicara.
Keubiet?[3] siapa orangnya, Abu?” tanya yang lain penasaran.
Lalu Abu Bakar pun menjelaskan kalau semalam ketika ia pulang dari meunasah[4], ia berpapasan dengan dua orang pengendara sepeda motor yang tak dikenalnya. Dan, arah motor orang itu berasal dari sawah ini.
“Ya, betul! semalam saya juga mendengar suara motor berhenti di tepi sawah. Tapi, mata saya terlalu berat rasanya, jadi saya tidak keluar melihatnya,” sahut Bang Ma’e yang memang tinggal tak jauh dari sawah.
“Kalau begitu pelakunya pasti orang gampong lain!” timpal yang lain.
“Waduh! kalau begitu bikin rusak nama gampong kita!” kata yang lainnya lagi.
Suara-suara protes dan kemarahan terdengar  gaduh dan riuh. Hingga sebuah suara lantang menghentikan pembicaraan mereka, “Minggir!Minggir! Minggir!”

Pak Rahman segera menoleh ke belakang.dilihatnya tiga orang polisi bersama Pak Geuchiek[5]. Mereka semua mendekati jasad bayi itu. Memeriksa dan meneliti seluruh tubuhnya. Mereka semua terlihat sibuk.

Pelan-pelan Pak Rahman menarik diri dari kerumunan orang-orang. Ia merasa sudah cukup berada ditempat kejadian ini. Rasanya tak ada gunanya berlama-lama menyaksikan satu pemandangan yang memilukan hatinya itu.

Dengan langkah gontai ia berjalan kembali pulang melewati pematang sawah. Pikirannya sibuk dengan seribu andai-andai. Andai saja bayi itu masih hidup, tentulah ia akan mengambilnya. Membawanya pulang. Kehidupan dan hari-harinya akan segera berubah. Ia akan sempurna menjadi seorang bapak dan istrinya telah benar-benar menjadi ibu yang sejati. Sepi selama ini berganti menjadi riuh tentu saja suara tangisan bayi akan membuat suasana rumahnya hidup lagi.

Namun, Pak Rahman segera menepis khayalannya. Ia tak boleh berpikiran seperti itu. Takdir Allah sudah ditentukan dan sebagai hamba sudah seharusnya ia menerima dengan ikhlas. Bayi itu tak dikirim untuknya. Orang tuanya lebih memilih membuangnya di sawah ketimbang menyerahkannya pada orang-orang yang tak dikaruniai anak seperti Pak Rahman dan Mak Khatijah dan sudah merupakan ujian baginya jika sepanjang hidupnya Allah tak memberi mereka keturunan.

Kini di usia yang sudah semakin senja, mereka cuma bisa pasrah dan bersabar menapaki hari-harinya yang penuh kesunyian. Mereka yang sepanjang hidupnya merindukan suara tangis dan gelak tawa seorang anak. Sementara disana, di pematang sawah, ditengah kerumunan orang-orang. Ada seorang bayi tak bernyawa yang dibuang begitu saja,  karena kehadirannya  yang tidak  diinginkan oleh kedua orang tuanya.

salah siapa / ini dosa siapa // tak perlu bertanya / semua ini sudahlah terjadi
salah siapa / ini dosa siapa // jawabnya ada di atas sana // Tuhan
sayup terdengar sepotong lirik lagu lawas Tommy J Pisa dari rumah seorang tetangga.
*) Foto dari Google


[1]  Tempat yang dibuat untuk menyemai benih padi
[2] hutan
[3] Benarkah?
[4] Surau
[5]  Setingkat Lurah
[6] Kampung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Bagi Jomblo Menghadapi Weekend

Suzuya Mall Banda Aceh Terbakar

Jogja, Istimewa (Sebuah Catatan Perjalanan)